Urgensi Standarisasi Akuntansi Perbankan Syariah
Oleh: Irfan Syauqi Beik, Msc
Salah satu permasalahan mendasar yang dihadapi oleh kalangan perbankan syariah saat ini adalah standarisasi sistem akuntansi dan audit, yang bertujuan untuk menciptakan transparansi keuangan sekaligus memperbaiki kualitas pelayanan keuangan kepada masyarakat. Kita mengetahui bahwa diantara kunci kesuksesan suatu bank syariah sangat ditentukan oleh tingkat kepercayaan publik terhadap kekuatan finansial bank yang bersangkutan, dan kepercayaan terhadap kesesuaian operasional bank dengan sistem syariah Islam. Kepercayaan ini terutama kepercayaan yang diberikan oleh para depositor dan investor, dimana keduanya termasuk stakeholder utama sistem perbankan di dunia ini.
Salah satu sumber utama untuk meraih kepercayaan publik adalah tingkat kualitas informasi yang diberikan kepada publik, dimana bank syariah harus mampu meyakinkan publik bahwa ia memiliki kemampuan dan kapasitas di dalam mencapai tujuan-tujuan finansial maupun tujuan-tujuan yang sesuai dengan syariat Islam. Karena itu, membangun sebuah sistem akuntansi dan audit yang bersifat standar merupakan sebuah keniscayaan dan telah menjadi kebutuhan utama yang harus dipenuhi. Tanpa itu, mustahil bank syariah dapat meningkatkan daya saingnya dengan kalangan perbankan konvensional. Bahkan jika kita melihat pada Al-Quran, maka kebutuhan pencatatan transaksi dalam sebuah sistem akuntansi yang tertata merupakan suatu hal yang sangat penting. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam QS Al-Baqarah : 282, dimana Allah SWT berfirman : ¡°Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya...¡±.
Tentu saja, kalau kita kaitkan ayat tersebut dengan konteks perbankan kontemporer, maka memiliki sistem akuntansi yang sistematis, transparan, dan bertanggungjawab, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Namun yang perlu kita perhatikan, terutama pada tataran operasional, sistem akuntansi pada perbankan syariah memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan sistem akuntansi perbankan konvensional, meski pada aspek-aspek tertentu, keduanya memiliki persamaan-persamaan. Diantara perbedaan yang sangat prinsipil adalah larangan riba / bunga dalam praktek perbankan syariah dan differensiasi produk perbankan syariah yang lebih variatif dan beragam bila dibandingkan dengan sistem perbankan konvensional. Sehingga konsep dan struktur dasar investasi dan keuangan pada sistem perbankan syariah haruslah menjadi konsideran utama didalam membangun sistem akuntansi yang kredibel.
Mekanisme Dasar Bank Syariah
Sebagai sebuah lembaga intermediasi keuangan, mekanisme dasar bank syariah adalah menerima deposito dari pemilik modal (depositor) pada sisi liability-nya (kewajiban) untuk kemudian menawarkan pembiayaan kepada investor pada sisi asetnya, dengan pola atau skema pembiayaan yang sesuai dengan syariat Islam. Pada sisi kewajiban, terdapat dua kategori utama, yaitu interest-free current and saving accounts dan investment accounts yang berdasarkan pada prinsip PLS (Profit and Loss Sharing) antara pihak bank dengan pihak depositor. Sedangkan pada sisi aset, yang termasuk didalamnya adalah segala bentuk pola pembiayaan yang bebas riba dan sesuai standar syariah, seperti mudarabah, musyarakah, istisna, salam, dan lain-lain.
Untuk mencapai tujuan akuntansi yang bersifat standar, maka struktur dasar aktivitas investasi dapat kita bagi kedalam dua bagian, yaitu pertama, unrestricted investment accounts (rekening investasi tanpa batasan) dan yang kedua, yaitu restricted investment accounts (rekening investasi dengan batasan). Adapun maksud poin yang pertama adalah bank Islam memiliki kebebasan untuk menginvestasikan dana yang diterimanya pada berbagai kegiatan investasi tanpa dibatasi oleh ketentuan-ketentuan tertentu, termasuk menggunakannya secara bersama-sama dengan modal pemilik bank. Sedangkan maksud pada poin yang kedua adalah pihak bank hanya bertindak sebagai manajer yang tidak memiliki otoritas untuk mencampurkan dana yang diterimanya dengan modal pemilik banknya tanpa persetujuan investor. Selain kedua hal tersebut, bank syariah juga harus merefleksikan fungsinya sebagai pengelola dana zakat, dan dana-dana amal lainnya termasuk dana qard hasan. Sementara itu, pada aspek pengenalan (recognition), pengukuran (measurement), dan pencatatan (recording) setiap transaksi pada sistem akuntansi bank syariah terdapat kesamaan dengan proses-proses yang terjadi pada sistem konvensional.
Tujuan Akuntansi Keuangan
Untuk menjaga konsistensi, baik yang bersifat internal maupun eksternal bank, maupun untuk menjamin kesesuaiannya dengan syariat Islam, maka kita perlu mendefinisikan tujuan standarisasi akuntansi keuangan pada bank syariah. Hal ini juga sebagai upaya untuk memberikan panduan umum didalam menentukan sejumlah pilihan berdasarkan alternatif-alternatif yang ada. Adapun tujuan sistem akuntansi keuangan ini adalah pertama, untuk menentukan hak dan kewajiban semua pihak yang berkepentingan, seperti para depositor dan pemilik bank. Kemudian yang kedua adalah untuk menjamin keamanan dan keselamatan aset bank syariah, termasuk menjamin hak bank yang bersangkutan dan hak stakeholder lainnya. Yang ketiga, menjamin perbaikan manajemen dan kapabilitas produktif bank syariah agar senantiasa selaras dengan tujuan dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dan yang keempat adalah untuk menyediakan laporan keuangan yang berguna bagi para pemakainya ¡ªseperti pemegang saham, pemilik rekening, otoritas fiskal, dll¡ª sehingga memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang legitimate didalam melakukan negosiasi dan transaksi dengan pihak bank syariah.
Agar sebuah laporan keuangan tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, maka kualitas informasi yang diberikan harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (i) asas manfaat, terutama bagi pihak pemakainya; (ii) relevansi antara laporan keuangan tersebut dengan tujuan pelaporannya; (iii) tingkat kepercayaan; (iv) komparabilitas, artinya dapat diperbandingkan berdasarkan periode waktu tertentu; (v) konsistensi, artinya metode yang digunakan konsisten dan tidak mudah berubah; dan (vi) mudah dipahami, serta tidak multi interpretasi. Selain keenam hal tersebut, informasi yang diberikan juga harus mencakup beberapa aspek. Pertama, informasi yang tersedia harus mampu menggambarkan pencapain tujuan yang ada dan konsistensinya dengan syariat. Jika bank melakukan deal pada transaksi yang diharamkan, misalnya terkait dengan sistem riba, maka harus dijelaskan secara detil mengenai pemisahan pencatatan transaksi tersebut. Dan yang kedua, informasi tersebut harus mampu membantu pihak luar bank untuk mengevaluasi rasio kecukupan modal, resiko investasi, likuiditas, dan berbagai aspek finansial perbankan lainnya. Ini sangat penting dilakukan, sehingga kredibilitas bank dapat dipertanggungjawabkan.
Tantangan kedepan
Saat ini, berbagai upaya telah dilakukan untuk membangun sistem auditing dan akuntansi yang bersifat standar bagi kalangan perbankan syariah. Diantaranya adalah upaya yang dilakukan oleh AAOIFI (the Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) yang berbasis di Bahrain. Sejak berdiri pada tahun 1991, lembaga ini telah banyak memberikan kontribusi yang signifikan. Namun tentu saja, masih banyak hal yang harus dikerjakan oleh para pakar dan praktisi perbankan syariah. Hal ini dikarenakan tantangan yang semakin besar, termasuk bagaimana bersaing secara sehat dan produktif dengan kalangan perbankan konvensional.
Diantara tantangan yang terberat kedepannya adalah bagaimana menciptakan standar metodologi akuntansi terhadap beragam tipe pola atau skema pembiayaan perbankan syariah yang dapat diterima secara internasional. Kemudian juga adalah tantangan regulasi yang secara umum belum menunjukkan keberpihakan yang lebih terhadap sektor perbankan syariah. Namun penulis berkeyakinan, bila semua pihak tetap konsisten didalam menegakkan konsep perbankan syariah secara utuh, maka lambat laun perbankan syariah kedepannya memiliki harapan untuk dapat menggantikan sistem perbankan konvensional. Semoga. Wallahu`alam.
Ditulis oleh:
Irfan Syauqi Beik (Dosen FEM IPB dan Mahasiswa Program S3 Ekonomi Syariah IIU Malaysia)
dan
Laily Dwi Arsyianti (Mahasiswa Program S2 Keuangan Syariah IIU Malaysia)
AKUNTANSI ISLAM : from normative to positive
Oleh : Dahnil A Simanjuntak
Pendahuluan
Profesi akuntan, ada kebanggaan tersendiri ketika seseorang menyatakan dirinya sebagai akuntan, masyarakat awam membayangkan orang yang bekerja di kantoran dengan penampilan necis lengkap dengan mobil bagus. Namun, kontradiktif dengan pandangan masyarakat terdidik tentang profesi ini, ada pandangan yang sangat skeptis berkaitan dengan peran akuntan. Fakta membuktikan , banyak laporan keuangan suatu perusahaan yang mendapat opini unqualified dari akuntan publik, justru setelah opini tersebut di terbitkan, perusahaan tersebut mengalami kepailitan. Misal, sampai dengan tahun buku 1997, laporan keuangan bank publik yang kini telah dilikuidasi dan berstatus Bank Beku Operasi (BB0) ternyata sebelumnya mendapat unqualified opinion dari akuntan publik ( Farhan dan Halim, 2004, h. 3 ). Meskipun secara empiris belum dapat dibuktikan apakah secara langsung bisa menguji hubungan atau pengaruh antara opini hasil audit laporan keuangan yang telah dikeluarkan oleh akuntan publik dengan tingkat kepailitan perusahaan. Banyak sekali kasus berkaitan dengan berbagai praktek yang dilakukan oleh akuntan publik. Praktek-praktek immoral bukan hanya dominasi akuntan publik, akuntan-akuntan intern juga melengkapi daftar hitam profesi ini, bekerja dibawah naungan kepentingan stockholder menggeser nilai independensi akuntan sehingga menjual kompetensinya dengan melakukan praktek-praktek curang, seperti, penggelapan pajak, mark up dan praktek-praktek curang lainnya. Predikat tukang angka yang dilabelkan kepada akuntan seakan ter-justifikasi dengan praktek-praktek tersebut. Depresiasi Peran Akuntansi Konvensional Berangkat dari konstelasi diatas, Bambang Sudibyo dalam pidato kuliah perdana (2002) STIE Ahmad Dahlan Jakarta menyatakan, apabila akuntan masih ingin eksis dan survive, maka seluruh komponen masyarakat termasuk lembaga, organisasi dan profesi secara tidak tertulis harus memiliki " social cantarct" layaknya konsep-konsep politik para filosof seperti Durkheim, Rossow, webber, dan lain-lain. Akuntan memiliki janji kepada masyarakat untuk memegang teguh janjinya untuk bekerja sesuai dengan landasan moral dan menjaga kesucian profesinya. Bahkan untuk melengkapi argumennya, Sudibyo menyatakan, ada kesalahan perspektif filosofis di kalangan akuntan terhadap pengertian bukti atau " Evidential Matters". Evidential Matters dimarjinalisasi pengertiannya menjadi hanya bukti formal, seharusnya selain memeriksa bukti-bukti formal, legal dan wajar tetapi harus berdasarkan keyakinan substansi professional yang dimiliki seorang akuntan di bentengi dengan etika profesi. Kwik Gian Gie sering sekali menyatakan dalam berbagai media bahwa profesi akuntan hanya memperhatikan bukti formal bukan substansial, sehingga opini akuntan publik baginya tidak berguna sama sekali dalam menilai keadaan keuangan perusahaan ( Harahap, 2001, h. 102). Bruche Lev dalam Harahap (2001) mengingikan revolusi besar-besaran dalam disiplin akuntansi, jika tidak akuntansi akan senasib dengan dinosaurus yang hanya tinggal kenangan dan menjadi isi museum. Perkembangan dan perubahan bentuk industri menurut beliau tidak diikuti secara pararel oleh ilmu akuntansi, pencatatan hanya dilakukan pada aktiva berwujud saja, sedangkan industri pada masa kini besar dengan assets berupa aktiva tak berwujud seperti paten, goodwill, lisensi, hak cipta, internet, website, software dan sebagainya. Itulah salah satu keterbatasan akuntansi konvensional pada saat ini, tidak mampu menghitung assets yang diluar kalkulasi material. Trueblood Committee ( Harahap, 2001, h. 92 ), menyampaikan kritik terhadap akuntansi konvensional sebagai berikut : 1. Akuntansi hanya menyangkut laporan historis sehingga tidak dapat menggambarkan secara eksplisit prospek masa depan. 2. Angka-angka akuntansi umumnya didasarkan pada hasil transaksi pertukaran sehingga hanya menggambarkan nilai pada saat itu. 3. Dalam akuntansi sering digunakan metode dari beberapa metode yang sama-sama diterima yang menghasilkan laporan dan informasi berbeda. 4. Akuntansi menekankan pada laporan keuangan yang bersifat umum yang dapat digunakan semua pihak. Sehingga terpaksa selalu memperhatikan semua pihak padahal pemakaiannya yang sebenarnya memiliki perbedaan kepentingan. 5. Angka-angka disatu laporan berkaitan dengan angka-angka dilaporan lainnya. 6. Diakui bahwa laporan keuangan yang sekarang tidak menggambarkan likuiditas dan arus kas. 7. Perubahan dalam daya beli uang jelas ada, namun hal ini tidak tergambarkan dalam laporan keuangan. 8. Konsep "materiality" merupakan konsep pelaporan. Batasan terhadap istilah ini agak abu-abu. Lebih lanjut Bruche Lev, menyatakan, peran akuntansi akan semakin kecil jika tidak dirubah. Lev berpendapat bahwa akuntansi adalah bagian dari ekonomi lama bahkan bagian dari Lucas Pacioli era 1400-an, akuntan bukan " a good eyesight ", lensa yang lama tidak akan mampu melihat situasi ekonomi yang baru, apalagi berkaitan dengan pelaporan akan aktiva-aktiva yang tak berwujud seperti: ide, merk, cara kerja, goodwill, franchise. Para pegawai tidak pernah tahu, berapa akurat sebenarnya konstribusi mereka terhadap perusahaan sehingga mereka paham akan hak-hak mereka sebagai pekerja. Disisi lain berabad-abad lalu Karl Marx telah menyampaikan kritiknya terhadap akuntansi kapitalis, menurut marx " akuntansi kapitalis tidak lebih hanya merupakan alat legalisasi atau stempel kapitalis untuk tetap eksis". Kritik terhadap keterbatasan akuntansi konvensional yang harus melakukan pararelisasi dengan praktek-praktek lembaga ekonomi pada masa kini yang terus berkembang dengan berbagai bentuk transaksi ekonomi bisnis yang dilakukan. Membuktikan, bahwa akuntansi sebagai ilmu harus terus melakukan penelitian-penelitian serta kajian-kajian yang intensif untuk melahirkan teori akuntansi yang sesuai dengan kebutuhan peradapan ekonomi. Akuntansi kapitalis yang mendapat tantang serius dari akuntansi Islam, akuntansi SDM, akuntansi modern merupakan salah satu bukti, bahwa terdapat banyak kekurangan dalam pengembangan dan praktek ilmu akuntansi. Akuntansi kapitalis yang dibangun berdasarkan landasan pikir sekuler terkonstruksi sebagai ilmu yang bebas nilai ( Value Free ), sehingga satu-satunya landasannya adalah rasional tanpa memiliki dimensi teologis ketauhidan serta moral. Akuntansi yang dibangun pada ranah peradapan ekonomi kapitalis lahir sebagai perangkat konstruktif peradapan tersebut. Seluruh dimensi penyajian laporan keuangan selalu mencerminkan kebutuhan dan kepentingan stockholder sesuai dengan filosofi induk yang melahirkannya. Skeptisme Akuntan Muslim Apa ada akuntansi Islam ?, " berhentilah sedikit-sedikit di Islamkan…sedikit-sedikit diIslamkan, " sudahlah jangan mengada-ada, Islam itu terlalu suci untuk dikaitkan dengan istilah akuntansi!". Peryataan skeptis pertama diatas sering sekali muncul dari para akuntan baik praktisi maupun akademisi. Peryataan skeptis tersebut dapat penulis maklumi, apabila lahir dari élan pikir praktisi, namun penulis sangat sayangi apabila peryataan tersebut lahir dari élan pikir seorang akademisi yang seharusnya menjadi pisau yang tajam dalam melakukan kajian analitik terhadap fenomena kecenderungan pengembangan ilmu pengetahuan, oleh sebab itu menjadi kewajaran apabilla akuntan Islam yang akademisi menunjukkan sikap keyakinan akan eksitensi akuntansi Islam. ( yang rasionalisasinya akan penulis jelaskan pada alenia lain ). Ada perbedaan yang mencolok tentang tujuan penelitian yang dilakukan oleh entitas praktisi dengan entitas akademisi akuntansi, para akuntan praktisi melakukan penelitian dengan tujuan untuk menyusun dan melakukan penyeragaman dalam standar informasi dan sistem pelaporan akuntansi sedangkan akuntan akademisi melakukannya untuk memahami filosofi dan peran informasi akuntansi bagi sebuah entitas. Karena itu penulis menyayangi peryataan diatas apabila lahir élan pikir akuntan akademisi apalagi ia beragama Islam, yang mengaku Islam sebagai pedoman hidupnya. Pernyataan yang lain diatas, mengungkapkan kekecewaannya terhadap penambahan embel-embel Islam dalam akuntansi, karena Islam sangat suci. Telah menggambarkan secara implisit bahwa akuntansi sebagai ilmu yang di praktekkan dalam kehidupan peradaban ekonomi kekinian adalah kotor oleh sebab itu zat yang suci (Islam) tidak dapat disatukan dengan zat yang najis (akuntansi). Meanstream berpikir yang terperangkap pada "kewajaran" akan praktek kotor yang dilakukan secara terus menerus dan diterima secara umum menjadi sebuah nilai yang " wajar" telah mereduksi nilai illahiyah dan menerima nilai kekotoran sebagai prinsip sakral. Akuntansi merupakan bagian dari ajaran Islam, penambahan embel-embel Islam pada ilmu akuntansi menegaskan kepada peradapan sekuler bahwa akuntansi ini dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip ketauhidan Islam. Penambahan kata Islam tersebut tidak akan mereduksi Islam justru memperkaya ranah universalitas Islam, berbeda dengan penambahan embel-embel pada kata Islam seperti Islam Liberal, Islam Transformatif, Islam Kritis dan sebagainya, yang menurut Din Syamsudin justru mereduksi Islam itu sendiri ( Kompas, 2004). Mensucikan Akuntansi prespektif yang berkembang dalam masyarakat yang menunjukkan perspektif yang negatif terhadap akuntan dan ilmu akuntansi yang beranggappan bahwa akuntansi Cuma ilmu untuk menipu dan rekayasa angka ( number enggenering ) demi kepentingan pemilk modal harus segera di rubah dengan cara "mensucikan akuntansi" melalui konstruksi praktek-praktek akuntansi yang beretika. Etika dalam profesi ini tidak cukup dengan hanya melengkapi profesi akuntan dengan kode etik profesi, namun, lebih daripada itu. Dimensi altrustisme (sosial) harus melengkapi pengembangan ilmu ini, dimensi altruistik bisa didapat melalui pemahaman teologis yang terintegrasi dalam akuntansi sehingga program pensucian akuntansi bertahap-tahap dapat dilakukan. Dekonstruksi Teori Akuntansi Konvensional Untuk melakukan pensucian terhadap ilmu akuntansi serta praktek moralis para akuntan maka harus dilakukan pembenahan atau dekonstruksii teori akuntansi konvensional. Dalam artikelnya Shahul Hameed menyatakan bahwa, " The philosophy, ontology and epistemology of the Islamic world view are given as a background to the need for of Islamic accounting " ( Hameed, 2004). Nilai-nilai philosophy, ontology dan epistemology yang terkandung dalam ajaran Islam merupakan landasan yang kuat untuk melandasi pengembangan akuntansi Islam. Kajian terhadap nilai-nilai filosofis, ontologis dan epistemologi ini juga yang dilakukan Iwan Triyuwono (lihat Iwan Triyuwono, " organisasi dan akuntansi syariah, 2000) dalam melakukan dekonstruksi akuntansi konvensional, sama hal nya dengan Sofyan safri harahap yang menggunakan istilah rekonstruksi akuntansi kapitalis, dengan cara mempertahankan nilai-nilai dan praktek akuntansi konvensional yang tidak bertentangan dengan ajaran ketauhidan dan mengganti nilai maupun praktek yang bertentangan. Kelihatannya hampir seluruh ilmuwan akuntansi didunia sepakat dengan metode ini. The Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institution (AAOIFI) yang beranggotakan beberapa Negara Islam seperti Arab Saudi, Sudan, Iran, Pakistan, India, Turki, Malaysia, Indonesia dan beberapa Negara lain juga melakukan hal yang sama dalam melahirkan standar akuntansi keuangan bagi bank Islam dan lembaga keuangan Islam lainnya. Dekonstruksi akuntansi Islam konvensional dilakukan sebagai bentuk pengakuan terhadap ilmu akuntansi kapitalis yang telah eksis berabad-abad melalui kajian-kajian positif namun mengalami kepincangan filosofis dan praktek ketika bertemu dengan realitas peradaban dengan prespektif filosofis yang berbeda. Mutulasi Penyeragaman AkuntansiAkuntansi yang bebas nilai (value free) merupakan teori usang. Dengan sendirinya terbantahkan dengan berbagai antitesis yang disampaikan oleh Hendriksen (1982) tentang pengertian teori akuntansi. Hendriksen meyatakan, teori adalah “the coherent set of hypothetical, conceptual and pragmatic principles forming the general frame of reference for a field of inquiry................( p 1)”. Melalaui penjabaran pengertian teori ini, Hendriksen telah menempatkan lingkungan sebagai faktor paling penting dalam mempengaruhi perkembangan dan perumusan suatu teori, sama halnya dengan perumusan teori akuntansi lingkungan menjadi faktor dominan dalam membentuk teori akuntansi. Lingkungan kapitalis akan melahirkan akuntansi kapitalis yang sekuler, lingkungan Islam seharusnya juga melahirkan akuntansi Islam karena akuntansi kapitalis tidak cocok dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Namun, bukan berati penulis melakukan generalisasi bahwa semua konsep akuntansi konvensional yang kapitalis adalah salah dan tidak sesuai dengan Islam ada banyak item yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, apalagi akuntansi konvensional telah melalui masa berabad-abad dalam perkembangannya dan melalui masa itu akuntansi konvensional telah melewati pembuktian empiris yang mapan. Gambaran diatas mengarahkan pada kajian beberapa asumsi. Pertama, akuntansi sebagai realitas tidak dapat dipandang sebagai obyek yang terpisah dari subeknya, yakni akuntan, atau masyarakatnya; atau sebagai obyek yang eksis diluar sana. Bagaimana pun juga, akuntansi merupakan hasil dari interaksi social oleh karena itu, kedua, akuntansi tidak dapat dipaksakan untuk diimplementasikan pada setiap masyarakat tanpa pertimbangan lingkungan social, karya-karya seperti, Mueller (1968), Choi (1975), Alkafaji (1983), Hofsede (1987) dan perera (1989) jelas membuktikan bahwa akauntansi secara social terilhami oleh realitas lingkungannya, seperti budaya, social, politik, ekonomi dan hukum. Jelas, akuntansi terbentuk melalui interaksi antar lingkungan-lingkungan tersebut. Selama ini sangat jarang sekali ditemukan penelitian atau pembelajaran di bangku kuliah tentang pengaruh akuntansi terhadap realitas sosialnya atau sebaliknya. Justru, penelitian dan pengajaran yang dilakukan mereduksi faktor-faktor realitas lingkungan. Misalnya, kajian-kajian dan penelitian-penelitian tentang peran akuntan pemerintah dalam hal ini BPK untuk meminimalisasi korupsi birokrasi. Pengawasan para akuntan terhadap kegiatan usaha yang beretika sehingga menampilkan kehidupan sosial ekonomi yang penuh dengan dimensi kejujuran dan amanah. Finalisasi Normatif Teori Menuju Positif Teori Keberadaaan akuntansi Islam sebenarnya tidak perlu diragukan lagi berabad-abad sebelum Pacioli melahirkan double entry sebagai metode pencatatan akuntansi, Al Khawarizmi telah melahirkan hal yang sama ( lebih jelas lihat Harahap, 2001, Triyuwono, 2000, Shahu, 2004 ) Al Khawarizmi merupakan ilmuwan matematik Islam yang karya-karya banyak menjadi referensi bagi ilmuwan-ilmuwan eropa. Fakta-fakta sejarah lain misalnya, tentang pencatatan dana baitul mall oleh kahlifah Umar Bin Khatab dan sebagainya., penulis tidak akan menjabarkan data-data historis lainnya. Keberadaan akuntansi Islam tidak cukup dengan hanya membeberkan fakta-fakta historis dengan berbagai filosofi yang terkandung didalamnya, kajian filosofi, ontologi dan epistemologi yang banyak dilakukan oleh para ilmuwan akuntansi Islam hanya melahirkan teori-teori normative yang pada dekade ilmiah ini tidak dapat begitu saja diterima. Oleh sebab itu kajin-kajian dan pembuktian empiris harus dilakukan. Realitas-realitas etis seperti lembaga keuangan Islam yang menurut Triyuwono memiliki dimensi egoistik ( bisnis) dan lembaga Zakat yang memiliki dimensi altruistik (sosial) merupakan sasaran pertama bagi proses positif atau ilmiah akuntansii Islam. Eksistensi akuntansi kapitalis yang mapan dalam perdaban kapitalis juga merupakan target penelitian menuju akuntansi Islam yang positif dengan metode rekonstruksi akuntansi kapitalis, mempertahankan nilai-nilai dan praktek yang sesuai ajaran Islam (syariah) dan membuang yang tidak sesuai ( Harahap, 2001). Proses normative kepada positif ini akan membutuhkan waktu yang sangat lama, sama halnya dengan pengembangan akuntansi kapitalis yang membutuhkan waktu berabad-abad untuk sampai kepada kemapanan akuntansi positif pada saat ini. Ilmu akuntansi adalah tool dari ilmu dan praktek ekonomi ketika sistem ekonomi terbangun dengan filosofi dan lingkungan sosialnya maka akuntansi akan menyesuaikan diri demikian pula perjuangan kita dalam mengembangkan akuntansi Islam harus dipararelkan dengan perjuangan budaya, sosial, politik, ekonomi dan hukum Islam dimana akuntansi akan eksis didalamnya melalui penelititian dan pengaruh lingkungannya. Penutup Semangat keberagamaan yang dibarengi dengan rasionalisasi yang empiris akan membawa kita kepada pada pelaksanaan agama yang membumi dan manusiawi. Akuntansi merupakan produk lingkungan (peradaban) apakah lingkungan tampil dengan wajah realitas etis atau realitas atheis. Akuntansi juga mewarnai lingkungan denga membentuk realitasnya melalui informasi akuntansi yang dihasilkan, sehingga proses penyesuaian nilai-nilai lingkungan dlam hal ini peradaban Islam dengan akuntansi sangatlah penting untuk menampilkan wajah peradaban islam yang perfeksionis, untuk mencapai itu harus dilakukan tahap normative kepada tahap ilmiah atau positif dan siapa lagi yang akan melakukannya selain kita umat Islam yang akuntan
Laporan dalam akuntansi
Ditulis oleh Yasin Setiawan
Laporan dalam akuntansi
A. Pengertian Siklus Akuntansi
Siklus akuntansi yaitu proses pencatatan transaksi-transaksi keuangan yang terjadi dalam suatu perusahaan secara terus-menerus. Untuk lebih mudah dipelajari dan dimengerti siklus akuntasi dapat dikelompokkan menjadi :
Dokumen Transaksi
Jurnal Khusus
Buku Besar
Buku Besar Pembantu
Neraca Saldo
Jurnal Penyesuaian
Neraca Lajur
Laporan Keuangan
Ayat Penutup
Neraca Saldo Setelah Penutupan
Pembukuan ke dalam perkiraan-perkiraan buku besar hendaklah dilakukan dengan pertolongan bukti-bukti tertulis, seperti kuitansi, nota, faktur dan sebagainya. Bukti-bukti tertulis tersebut disebut sebagai dokumen-dokumen transaksi.
B. Membuat Jurnal Khusus
Sesuai dengan proses kerja siklus akuntansi, maka transaksi-transaksi yang berdasarkan dokumen-dokumen tersebut dicatat dalam buku harian yang disebut jurnal khusus. Jurnal yaitu jurnal yang secara khusus digunakan untuk mencatat transaksi sejenis yang terjadi berulang-ulang.
Jenis-jenis jurnal khusus :
Jurnal Penerimaan Kas (JKM) yaitu jurnal yang digunakan untuk mencatat setiap terjadi penerimaan kas atau uang tunai.
Jurnal Pengeluaran Kas (JKK) yaitu jurnal yang digunakan untuk mencatat setiap terjadi pengeluaran uang tunai.
Jurnal Pembelian (JPB) yaitu jurnal yang digunakan untuk mencatat setiap terjadi pembelian secara kredit
Jurnal Penyesuaian (JPN) yaitu jurnal yang digunakan untuk mencatat setiap terjadi penjualan secara kredit.
Jurnal Umum (JU) yaitu jurnal yang digunakan untuk mencatat setiap transaksi yang tidak sesuai untuk dimasukkan kedalam empat jurnal diatas
Dalam perusahaan dagang, transaksi pembelian dan penjualan barang dagangan sering dilakukan baik secara tunai ataupun kredit.
C. Memposting ke Buku Besar
Buku besar yaitu dimana semua perkiraan-perkiraan ditempatkan. Perkiraan yaitu sebuah tempat mengelompokkan transaksi keuangan. Pemindah bukuan dari jurnal khusus ke akun buku besar dilakukan secara kumulatif dan berkala. Langkah posting dari jurnal khusus ke buku besar adalah sebagai berikut:
1. Merekapitulasi transaksi sejenis dengan menjumlah dan menutup jurnal khusus.
2. Memindahkan akun-akun yang ada dijurnal khusus ke dalam akun buku besar.
3. Mengisi kolom keterangan dan referensi pada akun buku besar dengan nama dan halaman jurnal.
4. Memberi nomor akun di bawah jumlah akun yang terdapat di dalam jurnal khusus untuk akun yang disediakan kolom khusus dan kolom referensi untuk akun yang terdapat didalam kolom serba-serbi dan jurnal umum.
5. Agar tidak terjadi kejanggalan jumlah/saldo pada akun buku besar sebaiknya posting dari jurnal khusus ke akun buku besar dilakukan dengan berurutan.
D. Membuat Buku Besar Pembantu
Akun buku besar seperti akun utang usaha, piutang usaha dan persediaan barang dagangan, kadang-kadang mencerminkan data secara terperinci. Untuk mengetahui utang usaha, piutang usaha dan persediaan barang dagangan secara terperinci diperlukan akun-akun lain yang dikelompokkan dalam suatu buku atau kumpulan kartu-kartu yang disebut buku besar pembantu.
E. Menyusun Neraca Saldo
Setelah dibuat buku besar maka dilanjutkan dengan pembuatan neraca saldo. Tiap-tiap transaksi mengakibatkan diadakannya pendebetan dan pengkreditan yang sama besarnya kedalam dua atau lebih dari dua perkiraan buku besar. Untuk menguji kebenarannya ini, maka secara berkala paling banyak sekali sebulan pada tiap akhir bulan dibuat sebuah daftar yang disebut neraca saldo.
F. Membuat Jurnal Penyesuaian
Ayat penyesuaian baru didapat jika telah dilaksanakannya pemeriksaan terhadap perkiraan-perkiraan yang terdapat di neraca saldo. Jika terdapat perkiraan yang salah catat atau belum tercatat maka akan terjadi penyesuaian.
G. Menyusun Neraca Lajur
Neraca lajur merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk penyusunan laporan keuangan. Neraca lajur dipergunakan untuk mempermudah dalam menyusun sebuah laporan keuangan akhir periode dalam akuntansi manual.
Penyusunan kertas kerja perusahaan dagang dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan ikhtisar laba-rugi dan pendekatan harga pokok penjualan. Jika menggunakan pendekatan ikhtisar laba-rugi yang dipindahkan ke ikhtisar laba-ruginya persediaan barang dagangan (awal dan akhir) sedang akun-akun pembelian dan penjualan dipindahkan ke kolom laba-rugi. Jika menggunakan pendekatan harga pokok penjualan semua unsur harga pokok dipindahkan ke akun harga pokok melalui jurnal penyesuaian dan akun penjualan dipindahkan ke kolom laba-rugi.
H. Menyusun Laporan Keuangan
Setelah neraca lajur tersusun maka laporan keuangan akan mudah disusun. Untuk menyusun sebuah laporan keuangan terlebih dahulu kita mengklasifikasikan transaksi yang sudah dicatat, sesudah itu mengikhtisarkan hasil pengelompokan tersebut. Kemudian dengan pertolongan ikhtisar itulah tersusun sebuah laporan keuangan.
I. Membuat Jurnal Penutup
Pada akhir periode akuntansi saldo perkiraan pendapatan dan beban dipindahkan ke perkiraan modal pemilik. Ayat-ayat yang dibuat dijurnal pemindahan itu disebut ayat jurnal penutup.
J. Membuat Neraca Saldo Setelah Penutupan
Setelah jurnal penutupan dibuat , selanjutnya dibuat neraca saldo setelah penutupan yang diambil dari buku besar yang sudah diposting dari jurnal penyesuaian dan jurnal penutup. Tujuan penyusunan neraca sisa setelah penutupan adalah untuk memastikan bahwa sebelum memulai pencatatan data akuntansi periode berikutnya, akun-akun buku besar dalam keadaan seimbang.
FUNGSI DAN PENGERTIAN AKUNTANSI BIAYA
ERLINA. SE.
Fakultas Ekonomi
Program Studi Akuntansi
Universitas Sumatera Utara
A. Pendahuluan
Akuntansi biaya merupakan bagian yang integral dengan financial accounting.
Akuntansi biaya adalah salah satu cabang akuntansi yang merupakan alat
manajemen dalam memonitor dan merekam transaksi biaya secara sistematis, serta
menyajikannya informasi biaya dalam bentuk laporan biaya. Biaya (cost) berbeda
dengan beban (expense), cost adalah pengorbanan ekonomis yang dikeluarkan
untuk memperoleh barang dan jasa, sedangkan beban (expense) adalah expired cost
yaitu pengorbanan yang diperlukan atau dikeluarkan untuk merealisasi hasil, beban
ini dikaitkan dengan revenue pada periode yang berjalan. Pengorbanan yang tidak
ada hubungannya dengan perolehan aktiva, barang atau jasa dan juga tidak ada
hubungannya dengan realisasi hasil penjualan, maka tidak digolongkan sebagai cost
ataupun expense tetapi digolongkan sebagai loss.
B. Manfaat Akuntansi Biaya
Tujuan atau manfaat akuntansi biaya adalah menyediakan salah satu
informasi yang diperlukan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan, yaitu
untuk :
1. Perencanaan dan Pengendalian Laba. Akuntansi biaya menyediakan informasi
atau data biaya masa lalu yang diperlukan untuk menyusun perencanaan, dan
selanjutnya atas dasar perencanaan tersebut, biaya dapat dikendalikan dan
akhirnya pengendalian dapat dipakai sebagai umpan balik untuk perbaikan
dimasa yang akan datang.
2. Penentuan Harga Pokok Produk atau Jasa. Penetapan harga pokok akan dapat
membantu dalam : (a) penilaian persediaan baik persediaan barang jadi maupun
barang dalam proses, (b) penetapan harga jual terutama harga jual yang
didasarkan kontrak, walaupun tidak selamanya penentuan harga jual
berdasarkan harga pokok, (c) penetapan laba.
3. Pengambilan Keputusan oleh Manajemen.
C. Klasifikasi Biaya
Akuntansi biaya bertujuan untuk menyajikan informasi biaya yang digunakan
untuk berbagai tujuan, sehingga penggolongan biaya juga didasarkan atas
disesuaikan dengan tujuan tersebut. Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk
menggolongkan biaya diantaranya :
1. Berdasarkan Fungsi Pokok Perusahaan
a. Factory Cost (Biaya Produksi)
1. Biaya Bahan Baku (Direct Material Cost)
2. Biaya Tenaga Kerja Langsung (Direct Labor Cost)
3. Biaya Tidak Langsung (Factory Overhead)
b. Commercial Expense (Operating Expense)
1. Marketing and Selling Expense
2. General & Administration Expense
2002 digitized by USU digital library
2. Berdasarkan Periode Akuntansi
a. Capital Expenditure (Pengeluaran Modal). Pengeluaran ini akan memberi
manfaat pada beberapa periode akuntansi. Jenis pengeluaran ini
dikapitalisirdan dicantumkan sebagai harga perolehan. Suatu pengeluaran
dikelompokkan sebagai capital expenditure jika pengeluaran ini memberi
manfaat lebih dari satu periode akuntansi, jumlahnya relatif besar, dan
pengeluaran ini sifatnya tidak rutin.
b. Revenue Expenditure (Pengeluaran Penghasilan). Pengeluaran ini akan
memberi manfaat pada periode akuntansi dimana pengeluaran ini terjadi.
Pengeluaran ini menjadi beban pada periode tersebut, dan dicantumkan
dalam income statement. Suatu pengeluaran dikelompokkan sebagai revenue
expenditure jika pengeluaran tersebut memberi manfaat pada periode
terjadinya pengeluaran tersebut, jumlahnya relatif kecil, dan umumnya
pengeluaran ini sifatnya rutin.
3. Berdasarkan Pengaruh Manajemen Terhadap Biaya
a. Biaya Terkendali (Controllable Cost). Adalah biaya yang secara langsung
dapat dipengaruhi oleh seorang manajer tingkatan tertentu dalam jangka
waktu tertentu.
c. Biaya Tidak Terkendali (Uncontrollable Cost). Adalah biaya yang tidak dapat
dipengaruhi oleh seorang manajer atau pejabat tingkatan tertentu.
4. Karakteristik Biaya Dihubungkan Dengan Keluarannya
a. Biaya Engineered. Adalah elemen biaya yang mempunyai hubungan phisik
yang eksplisit dengan output.
b. Biaya Discretionary. Biaya ini disebut juga managed cost atau programmed
cost adalah semua biaya yang tidak mempunyai hubungan yang akurat
dengan output.
d. Biaya Commited atau biaya kapasitas. Adalah semua biaya yang terjadi
dalam rangka untuk mempertahankan kapasitas atau kemampuan organisasi
dalam kegiatan produksi, pemasaran dan administrasi.
5. Pengaruh Perubahan Volume Kegiatan Terhadap Biaya
a. Biaya Tetap. Yaitu biaya yang jumlah tidak dipengaruhi oleh perubahan
volume kegiatan sampai pada tingkatan tertentu. Biaya tetap perunit berubah
berbanding terbalik dengan perubahan volume kegiatan.
b. Biaya Variabel. Biaya variabel mengasumsikan hubungan linear antara biaya
aktifitas tersebut. Biaya variabel yaitu biaya yang jumlah totalnya berubah
secara sebanding dengan perubahan volume kegiatan, semakin besar volume
kegiatan maka semakin besar pula jumlah total biaya variabel.
c. Biaya Semi Variabel. Yaitu biaya dimana jumlah totalnya berubah sesuai
dengan perubahan volume kegiatan, akan tetapi sifat perubahannya tidak
sebanding/proporsional.
6. Berdasarkan Objek yang dibiayainya
a. Biaya Langsung. Biaya yang terjadi atau manfaatnya dapat diidentifikasi
kepada objek atau pusat biaya tertentu.
b. Biaya Tidak Langsung. Biaya yang terjadi atau manfaatnya tidak dapat
diidentifikasi pada objek atau pusat biaya tertentu, atau biaya yang
manfaatnya dinikmati oleh beberapa objek atau pusat biaya.
2002 digitized by USU digital library
D. Sistem Akuntansi Biaya
Sistem akuntansi biaya (cost system) dapat dikelompokkan menjadi dua
sistem yaitu :
1. Actual Cost System (Sistem Harga Pokok Sesungguhnya). Yaitu sistem
pembebanan harga pokok kepada produk atau pesanan yang dihasilkan sesuai
dengan harga pokok yang sesungguhnya dinikmati. Pada sistem ini, harga pokok
produksi baru dapat dihitung pada akhir periode setelah biaya sesungguhnya
dikumpulkan.
2. Standard Cost System (Sistem Harga Pokok Standar). Yaitu sistem pembebanan
harga pokok kepada produk atau pesanan yang dihasilkan sebesar harga pokok
yang telah ditentukan/ditaksir sebelum suatu produk atau pesanan dikerjakan.
E. Sistem Pengumpulan Harga Pokok
1. Job Order Cost. Yaitu suatu metode pengumpulan harga pokok produk yang
dikumpulkan untuk setiap pesanan atau kontrak. Jadi setiap ada pesanan
mempunyai harga pokok tersendiri yang dibuat dalam job cost sheet. Pada
metode ini, produksi dilakukan untuk memenuhi pesanan pelanggan.
2. Process Cost. Yaitu metode pengumpulan harga pokok produk dimana biaya
dikumpulkan untuk setiap satuan waktu. Pada metode ini, proses produksi
diperusahaan dilaksanakan secara terus menerus, barang yang dihasilkan
homogen, dan perhitungan harga pokok produksi didasarkan atas waktu. Pada
metode ini, produksi dilakukan untuk memenuhi stock.
F. Manfaat Biaya Perunit
1. Perusahaan Manufaktur
Sistem akuntansi biaya memiliki tujuan pengukuran dan pembebanan biaya
sehingga biaya perunit dari suatu produk dapat ditentukan. Informasi biaya perunit
adalah sangat penting bagi perusahaan manufaktur untuk penilaian persediaan,
penentuan laba, dan pengambilan keputusan lainnya. Pengungkapan biaya
persediaan dan penentuan laba adalah kebutuhan pelaporan keuangan yang dihadapi
setiap perusahaan pada setiap akhir periode.
Untuk menentukan biaya perunit, maka total biaya yang digunakan
tergantung tujuan informasi tersebut. Perusahaan dapat menggunakan biaya
produksi, atau biaya variabel, atau biaya produksi ditambah biaya non produksi.
Untuk pembuatan laporan keuangan untuk pihak eksternal, maka informasi biaya
perunit diperoleh dari total biaya produksi, sedangkan untuk pengambilan keputusan
untuk menerima atau menolak pesanan khusus, dalam kondisi perusahaan
beroperasi dibawah kapasitas produksi, maka informasi biaya yang dibutuhkan
adalah informasi biaya variabel.
2. Perusahaan Jasa
Perusahaan jasa juga memerlukan informasi biaya perunit. Pada dasarnya
untuk menghitung biaya perunit antara perusahaan jasa maupun perusahaan
manufaktur adalah sama. Pertama sekali, perusahaan jasa yang disediakan dan
mengidentifikasi total biaya untuk unit jasa yang disediakan.
Perusahaan jasa maupun perusahaan manufaktur menggunakan data biaya
dengan tujuan yang sama, yaitu untuk menentukan profitabilitas, kelayakan untuk
memperkenalkan layanan baru, membuat keputusan harga jual dan lainnya, hanya
perusahaan jasa tidak memerlukan data biaya untuk menentukan nilai persediaan,
karena jasa tidak menghasilkan produk fisik.
2002 digitized by USU digital library
G. Kalkulasi Biaya Produk Tradisional
Kalkulasi biaya produk tradisional hanya membebankan biaya produksi pada
produk. Pembebanan biaya utama keproduk tidak memiliki kesulitan, karena dapat
menggunakan penelusuran langsung atau penelusuran penggerak yang sangat
akurat. Tetapi sebaliknya, biaya overhead memiliki masalah dalam pembebanan
biaya ke produk, karena hubungan antara masukan dan keluaran tidak dapat
diobservasi secara fisik.
Dalam sistem biaya tradisional, untuk membebankan biaya ke produk
digunakan penggerak aktifitas tingkat unit (unit level drivers), karena ini merupakan
faktor yang menyebabkan perubahan biaya sebagai akibat perubahan unit yang
diproduksi. Contoh penggerak tingkat unit yang secara umum digunakan untuk
membebankan overhead meliputi :
1. Unit yang diproduksi
2. Jam tenaga kerja langsung
3. Tenaga kerja langsung (rupiah)
4. Jam mesin
5. Bahan langsung
Setelah mengidentifikasi penggerak (driver) tingkat unit, lalu memprediksi
tingkat keluaran aktifitas yang diukur oleh penggerak tersebut, yaitu apakah
berdasarkan aktifitas aktual yang diharapkan (expected activity level) dan aktifitas
normal (normal activity level). Expected activity level adalah output aktivitas yang
diharapkan dicapai oleh perusahaan pada tahun yang akan datang, sedangkan
normal activity level adalah output aktivitas rata-rata yang merupakan pengalaman
perusahaan dalam jangka panjang. Aktivitas normal mempunyai keunggulan berupa
penggunaan tingkat aktifitas yang sama dari tahun ketahun, sehingga pembebanan
overhead ke produk tidak begitu berfluktuasi.
H. Keterbatasan Sistem Akuntansi Biaya
Tarif pabrik menyeluruh dan tarif departemental telah digunakan beberapa
dekade dan terus digunakan secara sukses. Namun pada beberapa situasi tarif
tersebut menimbulkan distorsi yang dapat membuat stress perusahaan yang
berproduksi dalam lingkungan produksi canggih (advanced manufacturing
environment). Gejala-gejala dari sistem biaya yang ketinggalan jaman diantaranya
sebagai berikut :
1. Hasil dari penawaran sulit dijelaskan
2. Harga pesaing nampak lebih rendah sehingga kelihatan tidak masuk akal.
3. Produk-produk yang sulit diproduksi menunjukkan laba yang tinggi.
4. Manajer operasional ingin menghentikan produk-produk yang kelihatan
menguntungkan.
5. Marjin laba sulit dijelaskan
6. Pelanggan tidak mengeluh atas biaya naiknya harga
7. Departemen akuntansi menghabiskan banyak waktu untuk memberi data
biaya bagi proyek khusus.
8. Biaya produk berubah karena perubahan peraturan pelaporan
MENYIBAK AKUNTANSI SYARIAH: Rekonstruksi Teknologi Akuntansi Syariah dari Wacana ke Aksi
oleh:
Aji Dedi Mulawarman
1. PENDAHULUAN
Segala Puji Bagi Allah. Sesungguhnya kesucian dan kebenaran hanyalah bersumber dari dan diniatkan/ditujukan kepada Allah. Sering kita bertanya-tanya bagaimana bentuk akuntansi di Indonesia?
Seperti kita ketahui hampir seluruh ‘peta’ akuntansi Indonesia merupakan by product Barat. Akuntansi konvensional (Barat) di Indonesia bahkan telah diadaptasi tanpa perubahan berarti. Hal ini dapat dilihat dari sistem pendidikan, standar, dan praktik akuntansi di lingkungan bisnis. Kurikulum, materi dan teori yang diajarkan di Indonesia adalah akuntansi pro Barat. Semua standar akuntansi berinduk pada landasan teoritis dan teknologi akuntansi IASC (International Accounting Standards Committee). Indonesia bahkan terang-terangan menyadur Framework for the Preparation and Presentation of Financial Statements IASC, dengan judul Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan dalam Standar Akuntansi Keuangan (SAK) yang dikeluarkan Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) (Mulawarman 2006b; 2007d).
Perkembangan terbaru, saat ini telah disosialisasikan sistem pendidikan akuntansi “baru” yang merujuk internasionalisasi dan harmonisasi standar akuntansi. Pertemuan-pertemuan, workshop, lokakarya, seminar mengenai perubahan kurikulum akuntansi sampai standar kelulusan akuntan juga mengikuti kebijakan IAI berkenaan Internasionalisasi Akuntansi Indonesia tahun 2010 (Mulawarman 2007d).
Dunia bisnis tak kalah, semua aktivitas dan sistem akuntansi juga diarahkan untuk memakai acuan akuntansi Barat. Hasilnya akuntansi sekarang menjadi menara gading dan sulit sekali menyelesaikan masalah lokalitas. Akuntansi hanya mengakomodasi kepentingan ”market” (pasar modal) dan tidak dapat menyelesaikan masalah akuntansi untuk UMKM yang mendominasi perekonomian Indonesia lebih dari 90%. Hal ini sebenarnya telah menegasikan sifat dasar lokalitas masyarakat Indonesia (Mulawarman 2006b).
Padahal bila kita lihat lebih jauh, akuntansi secara sosiologis saat ini telah mengalami perubahan besar. Akuntansi tidak hanya dipandang sebagai bagian dari pencatatan dan pelaporan keuangan perusahaan. Akuntansi telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai (value laden), tetapi dipengaruhi nilai-nilai yang melingkupinya. Bahkan akuntansi tidak hanya dipengaruhi, tetapi juga mempengaruhi lingkungannya (lihat Hines 1989; Morgan 1988; Triyuwono 2000a; Subiyantoro dan Triyuwono 2003; Mulawarman 2006).
Ketika akuntansi tidak bebas nilai, tetapi sarat nilai, otomatis akuntansi konvensional yang saat ini masih didominasi oleh sudut pandang Barat, maka karakter akuntansi pasti kapitalistik, sekuler, egois, anti-altruistik. Ketika akuntansi memiliki kepentingan ekonomi-politik MNC’s (Multi National Company's) untuk program neoliberalisme ekonomi, maka akuntansi yang diajarkan dan dipraktikkan tanpa proses penyaringan, jelas berorientasi pada kepentingan neoliberalisme ekonomi pula (Mulawarman 2007d).
Pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah memang kita tidak memiliki sistem akuntansi sesuai realitas kita? Apakah masyarakat Indonesia tidak dapat mengakomodasi akuntansi dengan tetap melakukan penyesuaian sesuai realitas masyarakat Indonesia? Lebih jauh lagi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang religius? Religiusitas Indonesia yang didominasi 85% masyarakat Muslim?
2. Akuntansi Syari’ah: ANTARA Aliran Pragmatis DAN IDEALIS
Perkembangan akuntansi syari’ah saat ini menurut Mulawarman (2006; 2007a; 2007b; 2007c) masih menjadi diskursus serius di kalangan akademisi akuntansi. Diskursus terutama berhubungan dengan pendekatan dan aplikasi laporan keuangan sebagai bentukan dari konsep dan teori akuntansinya. Perbedaan-perbedan yang terjadi mengarah pada posisi diametral pendekatan teoritis antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis.
2.1. Akuntansi Syariah Aliran Pragmatis
Aliran akuntansi pragmatis lanjut Mulawarman (2007a) menganggap beberapa konsep dan teori akuntansi konvensional dapat digunakan dengan beberapa modifikasi (lihat juga misalnya Syahatah 2001; Harahap 2001; Kusumawati 2005 dan banyak lagi lainnya). Modifikasi dilakukan untuk kepentingan pragmatis seperti penggunaan akuntansi dalam perusahaan Islami yang memerlukan legitimasi pelaporan berdasarkan nilai-nilai Islam dan tujuan syari’ah. Akomodasi akuntansi konvensional tersebut memang terpola dalam kebijakan akuntansi seperti Accounting and Auditing Standards for Islamic Financial Institutions yang dikeluarkan AAOIFI secara internasional dan PSAK No. 59 atau yang terbaru PSAK 101-106 di Indonesia. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam tujuan akuntansi syari’ah aliran pragmatis yang masih berpedoman pada tujuan akuntansi konvensional dengan perubahan modifikasi dan penyesuaian berdasarkan prinsip-prinsip syari’ah. Tujuan akuntansi di sini lebih pada pendekatan kewajiban, berbasis entity theory dengan akuntabilitas terbatas.
Bila kita lihat lebih jauh, regulasi mengenai bentuk laporan keuangan yang dikeluarkan AAOIFI misalnya, disamping mengeluarkan bentuk laporan keuangan yang tidak berbeda dengan akuntansi konvensional (neraca, laporan laba rugi dan laporan aliran kas) juga menetapkan beberapa laporan lain seperti analisis laporan keuangan mengenai sumber dana untuk zakat dan penggunaannya; analisis laporan keuangan mengenai earnings atau expenditures yang dilarang berdasarkan syari’ah; laporan responsibilitas sosial bank syari’ah; serta laporan pengembangan sumber daya manusia untuk bank syari’ah. Ketentuan AAOIFI lebih diutamakan untuk kepentingan ekonomi, sedangkan ketentuan syari’ah, sosial dan lingkungan merupakan ketentuan tambahan. Dampak dari ketentuan AAOIFI yang longgar tersebut, membuka peluang perbankan syari’ah mementingkan aspek ekonomi daripada aspek syari’ah, sosial maupun lingkungan. Sinyal ini terbukti dari beberapa penelitian empiris seperti dilakukan Sulaiman dan Latiff (2003), Hameed dan Yaya (2003b), Syafei, et al. (2004).
Penelitian lain dilakukan Hameed dan Yaya (2003b) yang menguji secara empiris praktik pelaporan keuangan perbankan syari’ah di Malaysia dan Indonesia. Berdasarkan standar AAOIFI, perusahaan di samping membuat laporan keuangan, juga diminta melakukan disclose analisis laporan keuangan berkaitan sumber dana zakat dan penggunaannya, laporan responsibilitas sosial dan lingkungan, serta laporan pengembangan sumber daya manusia. Tetapi hasil temuan Hameed dan Yaya (2003b) menunjukkan bank-bank syari’ah di kedua negara belum melaksanakan praktik akuntansi serta pelaporan yang sesuai standar AAOIFI.
Syafei, et al. (2004) juga melakukan penelitian praktik pelaporan tahunan perbankan syari’ah di Indonesia dan Malaysia. Hasilnya, berkaitan produk dan operasi perbankan yang dilakukan, telah sesuai tujuan syari’ah (maqasid syari’ah). Tetapi ketika berkaitan dengan laporan keuangan tahunan yang diungkapkan, baik bank-bank di Malaysia maupun Indonesia tidak murni melaksanakan sistem akuntansi yang sesuai syari’ah. Menurut Syafei, et al. (2004) terdapat lima kemungkinan mengapa laporan keuangan tidak murni dijalankan sesuai ketentuan syari’ah. Pertama, hampir seluruh negara muslim adalah bekas jajahan Barat. Akibatnya masyarakat muslim menempuh pendidikan Barat dan mengadopsi budaya Barat. Kedua, banyak praktisi perbankan syari’ah berpikiran pragmatis dan berbeda dengan cita-cita Islam yang mengarah pada kesejahteraan umat. Ketiga, bank syari’ah telah establish dalam sistem ekonomi sekularis-materialis-kapitalis. Pola yang establish ini mempengaruhi pelaksanaan bank yang kurang Islami. Keempat, orientasi Dewan Pengawas Syari’ah lebih menekankan formalitas fiqh daripada substansinya. Kelima, kesenjangan kualifikasi antara praktisi dan ahli syari’ah. Praktisi lebih mengerti sistem barat tapi lemah di syariah. Sebaliknya ahli syariah memiliki sedikit pengetahuan mengenai mekanisme dan prosedur di lapangan.
2.2. Akuntansi Syari’ah Aliran Idealis
Aliran Akuntansi Syari’ah Idealis di sisi lain melihat akomodasi yang terlalu “terbuka dan longgar” jelas-jelas tidak dapat diterima. Beberapa alasan yang diajukan misalnya, landasan filosofis akuntansi konvensional merupakan representasi pandangan dunia Barat yang kapitalistik, sekuler dan liberal serta didominasi kepentingan laba (lihat misalnya Gambling dan Karim 1997; Baydoun dan Willett 1994 dan 2000; Triyuwono 2000a dan 2006; Sulaiman 2001; Mulawarman 2006a). Landasan filosofis seperti itu jelas berpengaruh terhadap konsep dasar teoritis sampai bentuk teknologinya, yaitu laporan keuangan. Keberatan aliran idealis terlihat dari pandangannya mengenai Regulasi baik AAOIFImaupun PSAK No. 59, serta PSAK 101-106, yang dianggap masih menggunakan konsep akuntansi modern berbasis entity theory (seperti penyajian laporan laba rugi dan penggunaan going concern dalam PSAK No. 59) dan merupakan perwujudan pandangan dunia Barat. Ratmono (2004) bahkan melihat tujuan laporan keuangan akuntansi syari’ah dalam PSAK 59 masih mengarah pada penyediaan informasi. Yang membedakan PSAK 59 dengan akuntansi konvensional, adanya informasi tambahan berkaitan pengambilan keputusan ekonomi dan kepatuhan terhadap prinsip syari’ah. Berbeda dengan tujuan akuntansi syari’ah filosofis-teoritis, mengarah akuntabilitas yang lebih luas (Triyuwono 2000b; 2001; 2002b; Hameed 2000a; 2000b; Hameed dan Yaya 2003a; Baydoun dan Willett 1994).
Konsep dasar teoritis akuntansi yang dekat dengan nilai dan tujuan syari’ah menurut aliran idealis adalah Enterprise Theory (Harahap 1997; Triyuwono 2002b), karena menekankan akuntabilitas yang lebih luas. Meskipun, dari sudut pandang syari’ah, seperti dijelaskan Triyuwono (2002b) konsep ini belum mengakui adanya partisipasi lain yang secara tidak langsung memberikan kontribusi ekonomi. Artinya, lanjut Triyuwono (2002b) konsep ini belum bisa dijadikan justifikasi bahwa enterprise theory menjadi konsep dasar teoritis, sebelum teori tersebut mengakui eksistensi dari indirect participants.
Berdasarkan kekurangan-kekurangan yang ada dalam VAS, Triyuwono (2001) dan Slamet (2001) mengusulkan apa yang dinamakan dengan Shari’ate ET. Menurut konsep ini stakeholders pihak yang berhak menerima pendistribusian nilai tambah diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu direct participants dan indirect participants. Menurut Triyuwono (2001) direct stakeholders adalah pihak yang terkait langsung dengan bisnis perusahaan, yang terdiri dari: pemegang saham, manajemen, karyawan, kreditur, pemasok, pemerintah, dan lain-lainnya. Indirect stakeholders adalah pihak yang tidak terkait langsung dengan bisnis perusahaan, terdiri dari: masyarakat mustahiq (penerima zakat, infaq dan shadaqah), dan lingkungan alam (misalnya untuk pelestarian alam).
2.3. Komparasi Antara Aliran Idealis dan Pragmatis
Kesimpulan yang dapat ditarik dari perbincangan mengenai perbedaan antara aliran akuntansi syari’ah pragmatis dan idealis di atas adalah, pertama, akuntansi syari’ah pragmatis memilih melakukan adopsi konsep dasar teoritis akuntansi berbasis entity theory. Konsekuensi teknologisnya adalah digunakannya bentuk laporan keuangan seperti neraca, laporan laba rugi dan laporan arus kas dengan modifikasi pragmatis. Kedua, akuntansi syari’ah idealis memilih melakukan perubahan-perubahan konsep dasar teoritis berbasis shari’ate ET. Konsekuensi teknologisnya adalah penolakan terhadap bentuk laporan keuangan yang ada; sehingga diperlukan perumusan laporan keuangan yang sesuai dengan konsep dasar teoritisnya. Untuk memudahkan penjelasan perbedaan akuntansi syari’ah aliran pragmatis dan idealis, silakan lihat gambar berikut:
3. Proyek IMPLEMENTASI Shari’ate Enterprise Theory
Proses pencarian bentuk teknologis aliran idealis dimulai dari perumusan ulang konsep Value Added (VA) dan turunannya yaitu Value Added Statement (VAS). VAditerjemahkan oleh Subiyantoro dan Triyuwono (2004, 198-200) sebagai nilai tambah yang berubah maknanya dari konsep VA yang konvensional. Substansi laba adalah nilai lebih (nilai tambah) yang berangkat dari dua aspek mendasar, yaitu aspek keadilan dan hakikat manusia.
Terjemahan konsep VA agar bersifat teknologis untuk membangun laporan keuangan syari’ah disebut Mulawarman (2006, 211-217) sebagai shari’ate value added (SVA). SVA dijadikan source untuk melakukan rekonstruksi sinergis VAS versi Baydoun dan Willett (1994; 2000) dan Expanded Value Added Statement (EVAS) versi Mook et al. (2003; 2005) menjadi Shari’ate Value Added Statement (SVAS). SVA adalah pertambahan nilai spiritual (zakka) yang terjadi secara material (zaka) dan telah disucikan secara spiritual (tazkiyah). SVAS adalah salah satu laporan keuangan sebagai bentuk konkrit SVA yang menjadikan zakat bukan sebagai kewajiban distributif saja (bagian dari distribusi VA) tetapi menjadi poros VAS. Zakat untuk menyucikan bagian atas SVAS (pembentukan sources SVA) dan bagian bawah SVAS (distribusi SVA).
SVAS lanjut Mulawarman (2006) terdiri dari dua bentuk laporan, yaitu Laporan Kuantitatif dan Kualitatif yang saling terikat satu sama lain. Laporan Kuantitatif mencatat aktivitas perusahaan yang bersifat finansial, sosial dan lingkungan yang bersifat materi (akun kreativitas) sekaligus non materi (akun ketundukan). Laporan Kualitatif berupa catatan berkaitan dengan tiga hal. Pertama, pencatatan laporan pembentukan (source) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif. Kedua, penentuan Nisab Zakat yang merupakan batas dari VA yang wajib dikenakan zakat dan distribusi Zakat pada yang berhak. Ketiga, pencatatan laporan distribusi (distribution) VA yang tidak dapat dimasukkan dalam bentuk laporan kuantitatif.
Tentang Akuntansi Manajemen
Pada tahun 1880an, perusahaan manufaktur di Amerika mulai berkonsentrasi dalam pengembangan teknologi produksi yang berkapasitas besar. Para manajer dan insinyur pada perusahaan metal telah mengembangkan prosedur untuk menghitung relevant product cost yang disebut scientific management. Prosedur ini digunakan untuk menganalisis produktivitas dan laba suatu produk. Akan tetapi seiring berkembangnya pemikiran akuntansi maka setelah tahun 1914 prosedur tersebut mulai hilang dari praktik akuntansi perusahaan.
Setelah Perang Dunia I, terdapat peraturan akuntansi keuangan yang mempunyai dampak berkurangnya informasi akuntansi yang bermanfaat untuk mengevaluasi kinerja bawahan dalam perusahaan besar (lost relevance). Sampai tahun 1920an, semua manajer percaya pada informasi yang berhubungan dengan proses produksi utama, transaksi dan even yang menghasilkan jumlah nominal pada laporan keuangan. Setelah tahun 1925, informasi yang digunakan oleh manajer menjadi lebih sederhana dan banyak perusahaan manufaktur di Amerika telah mengembangkan prosedur akuntansi manajemen seperti yang dikenal sekarang.
Selama kurun waktu lebih dari enam puluh tahun, akuntan akademisi berusaha untuk mengembalikan relevansi antara informasi kos akunting dengan informasi akuntansi keuangan. Usaha tersebut menggunakan model perusahaan manufaktur sederhana, sejenis dengan perusahaan tekstil abad 19, dan dalam rangka mengatasi masalah produksi, akademisi menyusun ulang informasi pelaporan kos persediaan. Meskipun demikian, model tersebut terlalu sederhana untuk menjelaskan masalah nyata yang dihadapi oleh manajer akan tetapi hal tersebut dimahfumkan dalam rangka mempermudah bagaimana informasi kos yang berasal dari laporan keuangan dapat dibuat relevan dengan pengambilan keputusan (kos manajemen).
Mulai tahun 1980an sampai sekarang, akuntansi manajemen mengalami masa perkembangan yang pesat dengan perannya sebagai pendamping akuntansi keuangan. Johnson dan Kaplan menuliskannya dengan indah dalam “Relevance Lost: The Rise and Fall of Management Accounting”. Buku yang cukup layak baca untuk memahami tentang akuntansi manajemen.